Jumat, 25 Juni 2010

Lipi Gelar Seminar Dampak Pemanasan Global Pada Ikan

Selasa, 8 Juni 2010 09:11 WIB

Bogor, (tvOne).

Berbagai laporan penelitian menyebutkan bahwa pemanasan global mempunyai dampak yang sangat besar terhadap kondisi ekosistem yang ada.

Dampak pemanasan global tak hanya merusak ekosistem tetapi juga berpengaruh pada eksistensi fauna ikan.

Permasalahan tersebut akan dibahas dalam Seminar Nasional Ikan VI dan Kongres Masyarakat Ikhtiologi Indonesia (MII) III yang diselenggarakan selama dua hari Selasa dan Rabu (9/6) bertempat di Gedung Widyasatwaloka, Bidang Zoologi Pusat Peneliti (P2) Biologi, LIPI, Cibinong Sciece Center (CSC).

Seminar tersebut menghadikan pembicara utama Dr Lyne R Parenti, Kurator ikan di NMNH, Smithsonian Institut, Washington DC, US.

"Dr Lyne adalah ikhtyologist wanita pertama sebagai presiden dari ASIH (Amerika Society for Ichthyology and Herpetology Society) pada tahun 2004-2006, beliau juga anggota national acedemy of sciences US National committe. Selain Lyne ada juga Dr Gerald R Allen dan Dr Tan Heok Hui yakni kurator ikan di The Raffless Museum," ujar Kepala Laboratorium Ichtiology Pusat Penelitian Biologi LIPI, Renny K Hadiaty, Selasa, (8/6).

Renny menyebutkan, seminar tersebut bertujuan untuk bertukar informasi dan pengetahuan, pengalaman, diskusi dan koreksi atau saran dan koodinasi dalam kegiatan penelitian maupun pengelolaan ikan antara pada pakar, peneliti, praktisi dan pengambil kebijakan demi meningkatkan potensi, pengembangan dan pemanfaatan ikan di Indonesia secara berkelanjutan serta meminimalisasi kepunahan ikan di Indonesia.

Renny mengatakan seminar terbuka untuk umum, para pakar, peneliti, praktisi dan pemerhati ikan yang berasal dari lembaga peneliti, perguruan tinggi, instansi pemerintah terkait, breeder, eksportir ikan hias dan LSM terkait.

Pada seminar tersebut akan dibahas tentang potensi ikan di perairan Indonesia dan bagaimana memanfaatkan dan melindunginya guna meningkatkan potensi sumberdaya ikan untuk menambah devisa negara.

Renny menjelaskan, diperkirakan secara keseluruhan jenis ikan di perairan Indonesia berjumlah 4.000-6.000 jenis.

Jumlah jenis ikan air tawarnya berdasarkan koleksi yang ada di MZB sekitar 1.300 jenis sedangkan di Asia Tenggara yang valid telah diketahui sebanyak 2.917 jenis.

Kekayaan sumberdaya ikan masih sedikit dimanfaatkan, sementara itu, kerusakan ekosistem dan pemanasan global berdampak pada penurunan populasi dan keragaman jenis ikan.

"Bahkan beberapa jenis lainnya masih banyak ditemukan jenis-jenis baru yang belum pernah dilaporkan. Para ahli memperkirakan sekitar 400-600 jenis ikan lainnya dari wilayah Indonesia masih ada tetapi belum ditemukan dan dideskripsikan," kata Renny.

Salah satu solusi untuk menghadapi kendala tersebut kata Renny adalah adanya sarana komunikasi di antara para peneliti dan praktisi pemanfaatan untuk berdiskusi, saling memberikan informasi dalam pengelolaan keanekaragaman hayati.

"Oleh karena itu, seminar ini diselenggarakan. Sehingga diperoleh suatu pembahasan dan solusi yang tepat guna," katanya.

Seminar nasional ini dilaksanakan secara reguler oleh MII yang sudah dilaksanakan sebanyak lima kali dan kali ini merupakan kali ke enam, jelas Renny.

Diharapkan dari seminar tersebut dapat terbuka pertukaran informasi di antara pada peneliti maupun penentu kebijakan sehingga dapat meningkatkan potensi, pengembangan dan pemanfaatan ikan di Indonesia secara berkelanjutan serta meminimalkan kepunahan ikan di Indonesia. (Ant) (http://sosialbudaya.tvone.co.id/berita/view/40234/2010/06/08/lipi_gelar_seminar_dampak_pemanasan_global_pada_ikan/)

Pemerintah Tak Peduli Budaya

Di Antara Ribuan, Hanya Didaftarkan Tiga

Kebudayaan Nusantara rawan

diklaim negara lain. Salah satu

penyebabnya, sangat kecilnya

perhatian pemerintah Indonesia

terhadap kebudayaan jika

dibandingkan dengan

negara lain.

DI antara ribuan budaya di Indonesia, baru tiga yang didaftarkan ke Unesco (badan PBB yang mengurusi kebudayaan).

Bandingkan dengan negara lain. Malaysia, misalnya. Kebudayaan mereka tidak sekaya Indonesia. Tapi, Malaysia sudah mengajukan 150 budaya ke badan tersebut untuk mendapatkan pengakuan. Tiongkok bahkan sudah mengajukan 213 jenis budaya ke badan yang sama.

Paling banyak, bisa jadi. India. Negara itu mengajukan 700 budaya. "Sangat memprihatinkan. Kita tertinggal jauh jika dibandingkan dengan negara lain dalam hal menjaga budaya," tutur Direktur Peninggalan Purbakala Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Junus

Satrio Atmojo dalam seminar Evaluasi Pengelolaan Warisan Budaya Sepanjang 2009 di Benteng Vredeburg, Jogjakarta, Sabtu (9/1).

Saat ini, tiga jenis warisan budaya Indonesia yang baru diproses untuk didaftarkan ke UNESCO adalah angklung, gamelan, dan kerajinan tenun ikat. Padahal, untuk mendapatkan pengakuan tersebut, satu jenis warisan budaya bisa memakan waktu dua tahun.

Junus menyatakan, hal itu, antara lain, terkendala rumitnya sistem pemilihan dan pendataan cagar budaya. Pihaknya merasa kesulitan dalam mendata dan mengelom-pokkan tiap budaya ke dalam jenis yang sama. "Tak mungkin kalau ha] ini hanya ditangani pemerintah. Perlu peran masyarakat untuk menginventarisasi kekayaan budaya kita," katanya.

Menurut Junus, perlu akses bagi masyarakat untuk mendaftarkan kekayaan budaya di daerah masing-masing. Sebab, budaya biasanya lahir dari daerah. Dengan demikian,
sistem pendataan jauh lebih mudah daripada harus ditangani pemerintah satu per satu. "Dalam waktu dekat, pemerintah akan lakukan hal ini. Termasuk menyiapkan dewan kurator untuk menyeleksi jenis budaya yang didaftarkan masyarakat," tegasnya.

15 Bahasa Nyaris Punah

Di sisi lain. Junus mengungkapkan keprihatinan terhadap punahnya bahasa daerah asli Indonesia. Di antara 738 jenis bahasa daerah yang berhasil didata, IS bahasa daerah hampir punah.

Bahkan, ditemukan dua bahasa daerah yang hanya dipakai 5-10 orang. Mcnurut Junus, hal tersebut terjadi lantaran sudah banyak pergeseran di masyarakat yang lebih memilih menggunakan bahasa asing dalam berbagai aspek kehidupan.

Sebagian besar bahasa daerah yang dinyatakan hampir punah itu berada di daerah Indonesia timur. Indonesia tengah, dan wilayah Sumatra. Ancaman kepunahan belasan bahasa daerah itu berdasar pada hasil penelitian Pusat Studi Bahasa dua tahun lalu. (isa/nis/j pnn/ruk)

Entitas terkaitAncaman | Bandingkan | Benteng | Indonesia | Junus | Kebudayaan | Malaysia | Mcnurut | PBB | Pihaknya | Sebagian | Tiongkok | Unesco | Di Antara | Kebudayaan Nusantara | Pariwisata Junus | Satrio Atmojo | Bahasa Nyaris Punah | Hanya Didaftarkan Tiga | Pusat Studi Bahasa | Pemerintah Tak Peduli Budaya | Direktur Peninggalan Purbakala Kementrian Kebudayaan | Evaluasi Pengelolaan Warisan Budaya Sepanjang |
Ringkasan Artikel Ini
DI antara ribuan budaya di Indonesia, baru tiga yang didaftarkan ke Unesco (badan PBB yang mengurusi kebudayaan). Kita tertinggal jauh jika dibandingkan dengan negara lain dalam hal menjaga budaya," tutur Direktur Peninggalan Purbakala Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Junus Satrio Atmojo dalam seminar Evaluasi Pengelolaan Warisan Budaya Sepanjang 2009 di Benteng Vredeburg, Jogjakarta, Sabtu (9/1). Saat ini, tiga jenis warisan budaya Indonesia yang baru diproses untuk didaftarkan ke UNESCO adalah angklung, gamelan, dan kerajinan tenun ikat. Di antara 738 jenis bahasa daerah yang berhasil didata, IS bahasa daerah hampir punah.

Jumlah kata di Artikel : 410
Jumlah kata di Summary : 90
Ratio : 0,220

*Ringkasan berita ini dibuat otomatis dengan bantuan mesin. Saran atau masukan dibutuhkan untuk keperluan pengembangan perangkat ini dan dapat dialamatkan ke tech at mediatrac net.

* Home * Orang Biasa * Parsudian Keragaman Budaya Indonesia

Oleh : Adi Prasetijo

Pendahuluan

Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah keniscayaan yang ada di bumi Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok sukubangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok sukubangsa yang ada didaerah tersebut. Dengan jumlah penduduk 200 juta orang dimana mereka tinggal tersebar dipulau- pulau di Indonesia. Mereka juga mendiami dalam wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok sukubangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda. Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah ragamnya jenis kebudayaan yang ada di Indonesia. Kemudian juga berkembang dan meluasnya agama-agama besar di Indonesia turut mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia sehingga memcerminkan kebudayaan agama tertentu. Bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman budaya atau tingkat heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok sukubangsa namun juga keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradsional hingga ke modern, dan kewilayahan.

Dengan keanekaragaman kebudayaannya Indonesia dapat dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya. Indonesia mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi. Dan tak kalah pentingnya, secara sosial budaya dan politik masyarakat Indonesia mempunyai jalinan sejarah dinamika interaksi antar kebudayaan yang dirangkai sejak dulu. Interaksi antar kebudayaan dijalin tidak hanya meliputi antar kelompok sukubangsa yang berbeda, namun juga meliputi antar peradaban yang ada di dunia. Labuhnya kapal-kapal Portugis di Banten pada abad pertengahan misalnya telah membuka diri Indonesia pada lingkup pergaulan dunia internasional pada saat itu. Hubungan antar pedagang gujarat dan pesisir jawa juga memberikan arti yang penting dalam membangun interaksi antar peradaban yang ada di Indonesia. Singgungan-singgungan peradaban ini pada dasarnya telah membangun daya elasitas bangsa Indonesia dalam berinteraksi dengan perbedaan. Disisi yang lain bangsa Indonesia juga mampu menelisik dan mengembangkan budaya lokal ditengah-tengah singgungan antar peradaban itu.

Bukti Sejarah

Sejarah membuktikan bahwa kebudayaan di Indonesia mampu hidup secara berdampingan, saling mengisi, dan ataupun berjalan secara paralel. Misalnya kebudayaan kraton atau kerajaan yang berdiri sejalan secara paralel dengan kebudayaan berburu meramu kelompok masyarakat tertentu. Dalam konteks kekinian dapat kita temui bagaimana kebudayaan masyarakat urban dapat berjalan paralel dengan kebudayaan rural atau pedesaan, bahkan dengan kebudayaan berburu meramu yang hidup jauh terpencil. Hubungan-hubungan antar kebudayaan tersebut dapat berjalan terjalin dalam bingkai ”Bhinneka Tunggal Ika” , dimana bisa kita maknai bahwa konteks keanekaragamannya bukan hanya mengacu kepada keanekaragaman kelompok sukubangsa semata namun kepada konteks kebudayaan.

Didasari pula bahwa dengan jumlah kelompok sukubangsa kurang lebih 700’an sukubangsa di seluruh nusantara, dengan berbagai tipe kelompok masyarakat yang beragam, serta keragaman agamanya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang sesungguhnya rapuh. Rapuh dalam artian dengan keragaman perbedaan yang dimilikinya maka potensi konflik yang dipunyainya juga akan semakin tajam. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat akan menjadi pendorong untuk memperkuat isu konflik yang muncul di tengah-tengah masyarakat dimana sebenarnya konflik itu muncul dari isu-isu lain yang tidak berkenaan dengan keragaman kebudayaan. Seperti kasus-kasus konflik yang muncul di Indonesia dimana dinyatakan sebagai kasus konflik agama dan sukubangsa. Padahal kenyataannya konflik-konflik tersebut didominsi oleh isu-isu lain yang lebih bersifat politik dan ekonomi. Memang tidak ada penyebab yang tunggal dalam kasus konflik yang ada di Indonesia. Namun beberapa kasus konflik yang ada di Indonesia mulai memunculkan pertanyaan tentang keanekaragaman yang kita miliki dan bagaimana seharusnya mengelolanya dengan benar.

Peran pemerintah: penjaga keanekaragaman

Sesungguhnya peran pemerintah dalam konteks menjaga keanekaragaman kebudayaan adalah sangat penting. Dalam konteks ini pemerintah berfungsi sebagai pengayom dan pelindung bagi warganya, sekaligus sebagai penjaga tata hubungan interaksi antar kelompok-kelompok kebudayaan yang ada di Indonesia. Namun sayangnya pemerintah yang kita anggap sebagai pengayom dan pelindung, dilain sisi ternyata tidak mampu untuk memberikan ruang yang cukup bagi semua kelompok-kelompok yang hidup di Indonesia. Misalnya bagaimana pemerintah dulunya tidak memberikan ruang bagi kelompok-kelompok sukubangsa asli minoritas untuk berkembang sesuai dengan kebudayaannya. Kebudayaan-kebudayaan yang berkembang sesuai dengan sukubangsa ternyata tidak dianggap serius oleh pemerintah. Kebudayaan-kebudayaan kelompok sukubangsa minoritas tersebut telah tergantikan oleh kebudayaan daerah dominant setempat, sehingga membuat kebudayaan kelompok sukubangsa asli minoritas menjadi tersingkir. Contoh lain yang cukup menonjol adalah bagaimana misalnya karya-karya seni hasil kebudayaan dulunya dipandang dalam prespektif kepentingan pemerintah. Pemerintah menentukan baik buruknya suatu produk kebudayaan berdasarkan kepentingannya. Implikasi yang kuat dari politik kebudayaan yang dilakukan pada masa lalu (masa Orde Baru) adalah penyeragaman kebudayaan untuk menjadi “Indonesia”. Dalam artian bukan menghargai perbedaan yang tumbuh dan berkembang secara natural, namun dimatikan sedemikian rupa untuk menjadi sama dengan identitas kebudayaan yang disebut sebagai ”kebudayaan nasional Indonesia”. Dalam konteks ini proses penyeragaman kebudayaan kemudian menyebabkan kebudayaan yang berkembang di masyarakat, termasuk didalamnya kebudayaan kelompok sukubangsa asli dan kelompok marginal, menjadi terbelakang dan tersudut. Seperti misalnya dengan penyeragaman bentuk birokrasi yang ada ditingkat desa untuk semua daerah di Indonesia sesuai dengan bentuk desa yang ada di Jawa sehingga menyebabkan hilangnya otoritas adat yang ada dalam kebudayaan daerah.

Tidak dipungkiri proses peminggiran kebudayaan kelompok yang terjadi diatas tidak lepas dengan konsep yang disebut sebagai kebudayaan nasional, dimana ini juga berkaitan dengan arah politik kebudayaan nasional ketika itu. Keberadaan kebudayaan nasional sesungguhnya adalah suatu konsep yang sifatnya umum dan biasa ada dalam konteks sejarah negara modern dimana ia digunakan oleh negara untuk memperkuat rasa kebersamaan masyarakatnya yang beragam dan berasal dari latar belakang kebudayaan yang berbeda. Akan tetapi dalam perjalanannya, pemerintah kemudian memperkuat batas-batas kebudayaan nasionalnya dengan menggunakan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan militer yang dimilikinya. Keadaan ini terjadi berkaitan dengan gagasan yang melihat bahwa usaha-usaha untuk membentuk suatu kebudayaan nasional adalah juga suatu upaya untuk mencari letigimasi ideologi demi memantapkan peran pemerintah dihadapan warganya. Tidak mengherankan kemudian, jika yang nampak dipermukaan adalah gejala bagaimana pemerintah menggunakan segala daya upaya kekuatan politik dan pendekatan kekuasaannya untuk ”mematikan” kebudayaan-kebudayaan local yang ada didaerah atau kelompok-kelompok pinggiran, dimana kebudayaan-kebudayaan tersebut dianggap tidak sesuai dengan kebudayaan nasional.

Setelah reformasi 1998, muncul kesadaran baru tentang bagaimana menyikapi perbedaan dan keanekaragaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Yaitu kesadaran untuk membangun masyarakat Indonesia yang sifatnya multibudaya, dimana acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multibudaya adalah multibudayaisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan,1999). Dalam model multikultural ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut. Model multibudayaisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: “kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.

Sebagai suatu ideologi, multikultural harus didukung dengan sistem infrastuktur demokrasi yang kuat serta didukung oleh kemampuan aparatus pemerintah yang mumpuni karena kunci multibudayaisme adalah kesamaan di depan hukum. Negara dalam hal ini berfungsi sebagai fasilitator sekaligus penjaga pola interaksi antar kebudayaan kelompok untuk tetap seimbang antara kepentingan pusat dan daerah, kuncinya adalah pengelolaan pemerintah pada keseimbangan antara dua titik ekstrim lokalitas dan sentralitas. Seperti misalnya kasus Papua dimana oleh pemerintah dibiarkan menjadi berkembang dengan kebudayaan Papuanya, namun secara ekonomi dilakukan pembagian kue ekonomi yang adil. Dalam konteks waktu, produk atau hasil kebudayaan dapat dilihat dalam 2 prespekif yaitu kebudayaan yang berlaku pada saat ini dan tinggalan atau produk kebudayaan pada masa lampau.

Menjaga keanekaragaman budaya

Dalam konteks masa kini, kekayaan kebudayaan akan banyak berkaitan dengan produk-produk kebudayaan yang berkaitan 3 wujud kebudayaan yaitu pengetahuan budaya, perilaku budaya atau praktek-praktek budaya yang masih berlaku, dan produk fisik kebudayaan yang berwujud artefak atau banguna. Beberapa hal yang berkaitan dengan 3 wujud kebudayaan tersebut yang dapat dilihat adalah antara lain adalah produk kesenian dan sastra, tradisi, gaya hidup, sistem nilai, dan sistem kepercayaan. Keragaman budaya dalam konteks studi ini lebih banyak diartikan sebagai produk atau hasil kebudayaan yang ada pada kini. Dalam konteks masyarakat yang multikultur, keberadaan keragaman kebudayaan adalah suatu yang harus dijaga dan dihormati keberadaannya. Keragaman budaya adalah memotong perbedaan budaya dari kelompok-kelompok masyarakat yang hidup di Indonesia. Jika kita merujuk kepada konvensi UNESCO 2005 (Convention on The Protection and Promotion of The Diversity of Cultural Expressions) tentang keragaman budaya atau “cultural diversity”, cultural diversity diartikan sebagai kekayaan budaya yang dilihat sebagai cara yang ada dalam kebudayaan kelompok atau masyarakat untuk mengungkapkan ekspresinya. Hal ini tidak hanya berkaitan dalam keragaman budaya yang menjadi kebudayaan latar belakangnya, namun juga variasi cara dalam penciptaan artistik, produksi, disseminasi, distribusi dan penghayatannya, apapun makna dan teknologi yang digunakannya. Atau diistilahkan oleh Unesco dalam dokumen konvensi UNESCO 2005 sebagai “Ekpresi budaya” (cultural expression). Isi dari keragaman budaya tersebut akan mengacu kepada makna simbolik, dimensi artistik, dan nilai-nilai budaya yang melatarbelakanginya.

http://prasetijo.wordpress.com/2009/07/24/keragaman-budaya-indonesia/)

jumlah jenis budaya di indonesia

Seperti telah diberitakan di beberapa media cetak dan elektronik, pada tahun 2003 ini akan diselenggarakan perhelatan besar di bidang kebudayaan, yaitu ‘Kongres Kebudayaan V.’ Panitia Pengarah kini tengah sibuk menyiapkan tema, topik dan calon pemakalah. Di samping itu Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata serta Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata sebagai instansi yang bertangung jawab di bidang kebudayaan sedang sibuk melakukan persiapan penyelenggaraannya.
Kongres Kebudayaan Sesudah Indonesia Merdeka Selama ini dasar untuk menentukan jumlah Kongres Kebudayaan dimulai dari Kongres Kebudayaan tahun 1948 di pendopo Kabupaten Magelang. Ini berarti tiga tahun setelah Indonesia merdeka, atau setelah bangsa dan budaya Indonesia secara ‘de facto’ dan ‘de jure’ diakui keberadaannya. Tujuan diselenggarakan kongres adalah untuk mencari dan menyepakati format seperti apa yang cocok untuk menata bangsa dan budaya Indonesia arah ke depan. Kesimpulan dari kongres tersebut dikelompokkan menjadi 5, yaitu: (1) kebudayaan dan pembangunan masyarakat dan negara; (2) kebatinan dalam hubungannya dengan kebudayaan; (3) kebudayaan dan pendidikan; (4) kesenian; dan (5) pembangunan perkotaan. Di samping itu kongres menyetujui pembentukan Lembaga Kebudayaan Indonesia, serta mengusulkan berdirinya Akademi Kesenian dan dibentuknya Kementerian Kebudayaan.
Kongres Bahasa Indonesia III tahun 1978, IV tahun 1983, V tahun 1988, VI tahun 1993, dan VI tahun 1998, semuanya diselenggarakan di Jakarta (Setengah Abad Kiprah Kebahasaan dan Kesastraan Indonesia 1947-1997, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa:1998). 3. Kongres Kebudayaan Sebelum Indonesia Merdeka Berdasarkan data yang tersimpan di Museum Sonobudoyo, Yogyakarta, sebelum Indonesia merdeka ternyata telah diselenggarakan Kongres Kebu-dayaan sebanyak 8 kali.
Meskipun jauh sebelum BO lahir, telah berdiri lembaga yang disebut ‘Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschapen’ tahun 1778 - disusul dengan organisasi kebudayaan yang lain seperti: Balai Pustaka tahun 1908, Literrary Society tahun 1811, Oudheidkundige Dienst tahun 1913 - namun ide untuk menyelenggarakan Kongres Kebudayaan baru muncul jauh kemudian. Permasalahan penting yang dibahas adalah ke arah mana kebudayaan Jawa dikembangkan? Salah satu hasil penting dari kongres pertama adalah lahirnya rekomendasi tentang perlunya didirikan lembaga penelitian kebudayaan. Berdasarkan rekomendasi ini, tahun 1919 berdiri Java-Instituut, yang selanjutnya aktif merencanakan dan melaksanakan kongres kebudayaan berikutnya.
Hal yang menarik dari penyelenggaraan kongres ini, para peserta menginap di dalam kapal tersebut, sementara acara kongres diselenggarakan di Denpasar dan mengadakan kunjungan ke beberapa tempat, seperti Kintamani, pura Besakih, pusa Kehen dan lain-lain. Dalam kongres ini dibahas makalah: (1) Kehidupan Sosial Masyarakat Bali; (2) Kehidupan Keluarga Bali; dan (3) Bangunan Tua Bali (Majalah ‘Djawa,’ Java Instituut:1938). Hal lain yang menarik dan belum diketahui banyak orang, adalah tentang Kongres Bahasa pada masa sebelum Indonesia merdeka. Selain aktif beberapa kali menyelenggarakan Kongres Kebudayaan, Java-Instituut juga menyelenggarakan Kongres Bahasa Daerah, dalam hal bahasa Jawa dan Sunda.
Hubungan Kongres Kebudayaan Sebelum dan Sesudah Indonesia Merdeka Sengaja dalam tulisan ini dikutip topik-topik yang dibahas dari setiap kongres. Dengan ilustrasi singkat itu kita akan mendapatkan gambaran tentang konsep pemikiran, materi yang dibahas, aktivitas yang dilakukan pada setiap Kongres Kebudayaan baik sebelum maupun sesudah Indonesia merdeka. Terlepas dari masalah bobot dan isi kongres pada saat itu, dari segi penamaan pertemuan dengan sebutan ‘Kongres Kebudayaan’ telah memberikan kesan kuat bahwa peristiwa budaya itu patut dicatat sebagai bagian penting dari perjalanan sejarah kebudayaan kita. Kongres pertama tahun 1918 telah menjadi motor penggerak bagi diselenggarakannya kongres-kongres berikutnya, sehingga antara kongres sebelum dan sesudah Indonesia merdeka ada hubungan yang erat.
Mereka tidak hanya berfikir tentang pelestarian dan pengembangan kebudayaan Jawa, Sunda, Madura dan Bali saja, tetapi sudah kebudayaan Indonesia. Dalam pidato pembukaan Kongres Kebudayaan tahun 1921 di Bandung, Mr. SA. Reitsma antara lain mengatakan: ‘Java-Instituut sebagai lembaga yang relatif muda, tetapi telah mampu mengadakan kongres di Bandung yang pertama, yang tujuannya adalah mengembangkan kebudayaan nasional yang dalam keadaan tertindas, akan dihidupkan dan kembali berkembang di daerah-daerah, seperti yang dikatakan oleh Soeriokoesoemo yang telah menyampaikan prasaran tentang pembentukan dan pengembangan kebudayaan nasional.’ Sementara itu dalam pidato pembukaan Kongres Kebudayaan tahun 1926 di Surabaya Mr. Dijkerman mengatakan: ‘Saya berpendapat bahwa seni dapat berkembang apabila didukung oleh semangat dan kegairahan hidup dari bangsa yang sedang berkembang.(http://id.shvoong.com/social-sciences/1775650-sekilas-tentang-kongres-kebudayaan-sebelum/)